penglipuran.com

Cleanliness and Beauty

Experience the clean and beauty of Penglipuran village

Cultural Preservation

Explore the cultural preservation efforts in the picturesque Penglipuran

Engaging Activities

Experience activities in Penglipuran that showcase the culture of Bali

Immerse yourself in the well-preserved traditional Balinese architecture

EXPLORE THE RICH CULTURE AND BEAUTY OF PENGLIPURAN VILLAGE IN BALI

Is a beautiful highland village in the regency of Bangli in East Bali, best known for its well-preserved layout and culture. Manicured gardens line the single stone-paved street that runs through the centre of the village toward the local temple, and age-old arched entrance gates and walls conceal each house. Penglipuran Village has been selected as one of the UN Tourism "Best Tourism Village 2023".

Penglipuran Village was established in the 14th century, during the Bangli Kingdom. This refers to the research that shows that Penglipuran Traditional Village existed since the time of the Bangli Kingdom around 700 years ago.

+6282210164391 (Reservasi)

Open Everyday 08:00 - 18:30 (GMT +8)

MIANIN (NGABEN)

Keunikan Mianin (Ngaben) di Desa Adat Penglipuran

Desa Adat Penglipuran yang termasuk dalam rumpun masyarakat Bali Aga Bersama, seperti desa Tiga Kawan, Bayung Gede, dan Sekardadi memiliki sejumlah tradisi yang sangat khas dan masih lestari hingga saat ini. Salah satu keunikan yang paling mencolok dari tradisi Mianin (Ngaben) di Penglipuran adalah penggunaan hewan kurban berupa sapi sebagai bagian dari sarana upakara. Di banyak desa adat lainnya, hewan atau sarana upakara yang digunakan untuk upacara kematian biasanya berupa lembu dalam bentuk simbolis, seperti ogoh-ogoh atau wujud patung ritual. Namun di Penglipuran, yang digunakan adalah sapi asli yang dipersembahkan secara utuh dan disembelih sebagai bagian dari proses upacara.

Penggunaan sapi ini memiliki makna yang dalam dan filosofis. Sapi dipandang sebagai manifestasi dari tunggangan Dewa Siwa. Oleh karena itu, kurban sapi dalam tradisi Mianin (Ngaben) bukan sekadar persembahan fisik, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang kuat.

Daging dan bagian tubuh sapi yang dikurbankan digunakan sebagai sarana upakara, yaitu media atau perantara untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Lebih dari itu, sapi tersebut juga dimaknai sebagai alat transportasi spiritual yang membantu proses pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta, lima elemen dasar penyusun tubuh manusia (apah ( air) , bayu ( udara), teja (api), akasa ( ruang angkasa), pertiwi (tanah)) kembali ke alam semesta.

Dengan cara inilah masyarakat Penglipuran menunjukkan kedekatannya dengan alam, leluhur, dan nilai-nilai spiritual. Tradisi ini memperkuat identitas budaya Desa Adat Penglipuran sebagai desa yang tidak hanya menjaga tata ruang dan kebersihan lingkungan, tetapi juga menjaga keluhuran adat dan makna mendalam di balik setiap upacara yang dijalankan.

Pelaksanaan Ngaben di Desa Adat Penglipuran tergolong dalam jenis Ngaben Swasta. Berbeda dengan Ngaben pada umumnya yang melibatkan proses membongkar kuburan atau menggali jenazah, dalam Ngaben Swasta di Penglipuran tidak ada penggalian makam atau pengangkatan jenazah secara fisik.

Sebagai gantinya, badan kasar (palatra) dari orang yang telah meninggal disimbolkan melalui wujud orang-orangan yang dibuat dari ilalang atau bahan-bahan alami lainnya. Simbol tersebut menjadi representasi spiritual dari sang atma (roh), yang kemudian akan disucikan dan diantar menuju alam yang lebih tinggi melalui rangkaian upacara Pitra Yadnya.

  •   Waktu Pelaksanaan Mianin (Ngaben)

Waktu pelaksanaan Ngaben tidak diperbolehkan mencari hari baik secara mandiri, tetapi mekanisme penentuan waktunya harus melalui kesepakatan krama desa adat (ngembakang).

Pelaksanaan Ngaben biasanya dilakukan pada bulan suci Sasih Karo, yang memiliki makna spiritual mendalam dalam kepercayaan Hindu Bali. Menurut Lontar Gong Besi, pada bulan ini matahari bergerak ke arah utara, sebuah fase spiritual yang dikenal sebagai Utara Yana. Pada saat itulah dipercaya bahwa pintu-pintu alam surgawi seperti Yamaloka (alam suci Bhatara Yama) dan Pitraloka (alam roh leluhur) terbuka.

Dalam ajaran yang diwariskan secara turun-temurun, terbukanya pintu Yamaloka dan Pitraloka menjadi momen paling suci untuk menyelenggarakan upacara penyucian roh, seperti Ngaben dan Atma Wedana. Roh (atma) dari mereka yang telah meninggal dianggap siap untuk disucikan dan diantarkan menuju alam luhur, sehingga bulan Sasih Karo diyakini sebagai waktu terbaik untuk Pitra Yadnya.

Dengan demikian, pelaksanaan Ngaben secara kolektif pada bulan Sasih Karo di Desa Penglipuran bukan hanya menjadi simbol persatuan dan keharmonisan sosial, tetapi juga merupakan bentuk kepatuhan terhadap tatanan kosmis dan spiritual yang diwariskan oleh para leluhur.

Makna Mianin (Ngaben) untuk warga Penglipuran

Pada umumnya upacara pitra yadnya disebut dengan istilah ngaben. Namun di desa penglipuran ngaben memiliki istilah lain yaitu Mianin. Kata Mianin dapat diartikan sebagai memberikan biaya atau membiayai roh-roh yang telah tiada dan untuk dilakukan upacara atau di upacarai agar beliau dapat kembali ke asalnya. Bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran, Mianin atau yang dikenal sebagai Ngaben merupakan bagian dari upacara Pitra Yadnya, yaitu bentuk persembahan suci kepada roh leluhur. Upacara ini tidak hanya menjadi kewajiban spiritual, tetapi juga memiliki makna mendalam sebagai wujud penghormatan dan pengantar roh menuju kesucian dan penyatuan kembali dengan asalnya.

Berikut ini adalah tahapan dan makna dari prosesi Pitra Yadnya dalam tradisi Penglipuran:

a.       Atiwa-Tiwa (Mandusin)

Tahap awal dari Pitra Yadnya ini bertujuan untuk membersihkan unsur-unsur kasar tubuh manusia setelah meninggal dunia. Proses ini diyakini sebagai bentuk penyempurnaan struktur tubuh fisik agar roh dapat melanjutkan perjalanan spiritualnya.

b.      Ngaben (Mianin)

Ngaben diartikan sebagai proses pengembalian unsur Panca Maha Bhuta lima elemen penyusun tubuh manusia, yaitu:

1.      Apah (air)

2.      Bayu (angin)

3.      Teja (api)

4.      Akasa (eter/angkasa)

5.      Pertiwi (tanah)

Beberapa masyarakat menyebut kata Ngaben berasal dari kata “abu”, karena tubuh dibakar menjadi abu. Namun, ada juga yang mengaitkan dengan kata “api”, yang dalam filosofi Trimurti dihubungkan dengan Brahma (api), Wisnu (air), dan Siwa (angin).

Namun di Penglipuran, tubuh tidak dibakar melainkan dikuburkan hingga hancur secara alami dalam tanah (unsur pertiwi). Proses pelapukan inilah yang mengembalikan unsur tubuh manusia ke alam sesuai dengan elemen asalnya.

c.       Meroras / Metuhun

Setelah roh kembali ke alam, dilakukan upacara Meroras (disebut juga Metuhun dalam istilah Jawa). Dalam sastra agama, ini dikenal sebagai upacara Memukur, berasal dari kata “bukur”, di mana:

Bu berarti bumi, Kur berarti urdhva (atas)

Makna Meroras adalah meningkatkan roh dari alam bawah ke alam atas, dari Pitara (roh leluhur) menjadi Dewa Pitara (roh suci).

1.      Badan kasarnya telah kembali ke Bhur Loka (bumi)

2.      Atmanya menjadi Pitara di Bwah Loka (alam bawah)

3.      Roh sucinya lalu ditingkatkan ke Swah Loka (alam atas/surga)

d.      Ngelinggihan Dewa Pitara

Setelah proses penyucian roh selesai, dan roh tersebut telah bergelar Dewa Pitara, dilakukan upacara Ngelinggihan (penyucian dan pemujaan), yaitu menstanakan roh suci tersebut di rong tiga (altar khusus di sanggah atau merajan keluarga).

Tujuannya adalah untuk menempatkan roh yang telah suci agar bisa dipuja secara berkelanjutan oleh keturunannya, sebagai bagian dari keharmonisan antara alam sekala (dunia nyata) dan niskala (alam roh).

Tradisi Mianin (Ngaben) di Penglipuran tidak hanya unik dalam praktiknya seperti penggunaan sapi sebagai sarana upakara tetapi juga kaya akan makna spiritual yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam semesta, leluhur, dan Tuhan. Ini menjadi cerminan filosofi kehidupan Bali yang menyatu dengan Tri Hita Karana: hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.

BOOK YOUR VISIT TO PENGLIPURAN NOW

Immerse yourself in a side of Bali that few tourists ever get to experience

Entrance Fee Domestic ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

  • Dewasa : Rp 25.000 / Orang
  • Anak : Rp.15.000 / Orang
Ticket

Entrace Fee Foreigner ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

  • Adult : Rp 50.000 / Person
  • Child : Rp.30.000 / Person
Ticket

Experience Our Best Facility

Escape the crowds and immerse yourself in the serene beauty of this traditional Balinese village. Our world-class facility offers an unparalleled experience

Unlock the hidden gem of Bali at our premier facility in Penglipuran Village.

With our facility as your base, you’ll enjoy unparalleled access to Bali’s most iconic temples, lush jungle landscapes, and breathtaking natural attractions.

Activity

Discover the tranquil activity of Penglipuran Village such as cooking class, dance, bamboo painting, authentic dinner and many more           

Accomodation

Experience the tranquil beauty of Bali’s most well-preserved traditional village at Feel Accommodation in Penglipuran.

Bamboo Café

Bamboo Cafe is perfect for nature enthusiasts who want to infuse their outdoor living spaces with a tropical elegance.

UN-TOURISM

Stay updated on the latest news and updates about the UN-TOURISM Penglipuran Village

PENGLIPURAN NEWS.

Discover the captivating stories and latest updates from the charming Penglipuran Village.

WHAT OUR CUSTOMERS SAY

Read reviews, testimonials, and feedback to learn more about this unique destination.

COME AND VISIT US

Discover the enchanting world of Penglipuran Village - a must-visit destination that will captivate your senses and leave a lasting impression.

Scroll to Top